Sumedang dari Masa ke Masa
(Insun Medal dari Masa ke Masa)
(Insun Medal dari Masa ke Masa)
SUMEDANG LARANG “Insun Medal Insun Madangan”
Dalam Carita Parahiyangan dan catatan
Bujangga Manik bahwa sekitar kaki Gunung Tompo Omas (Tampomas) terdapat
sebuah Kerajaan Medang Kahiyangan (252 – 290 M), dan menurut catatan
Bujangga Manik juga bahwa posisi Sumedang Larang berada di
Cipameungpeuk, dilihat dari posisi Sumedang Larang (998 – 1114 M) bahwa
yang memegang kekuasaan waktu itu adalah Prabu Pagulingan.
Dilihat dari masa kedua kerajaan tersebut sangat berjauhan dan tidak
ada hubungan sama sekali, berdasarkan penyelusuran penyusun bahwa
keturunan dari Medang Kahiyangan merupakan keturunan Raja Salakanagara
ke 5 dari Prabu Dharma Satya Jaya Waruna Dewawarman menantu Dewawarman
IV, sedangkan menurunkan keturunan Sumedang Larang berasal Manikmaya
Kerajaan Kendan menantu Suryawarman raja Tarumanagara ke 7 yang kemudian
juga menurunkan raja-raja Galuh dan Sunda.
Cikal bakal berdirinya kerajaan Sumedang
Larang berawal dari kerajaan Tembong Agung. Berdirinya kerajaan Tembong
Agung sangat erat kaitannya dengan kerajaan Galuh Pakuan yang didirikan
oleh Wretikandayun 612 M, sedangkan kerajaan Tembong Agung didirikan
oleh Prabu Guru Aji Putih 678 M di Citembong Girang Kecamatan Ganeas
Sumedang kemudian pindah ke kampung Muhara Desa Leuwi Hideung Kecamatan
Darmaraja. Prabu Guru Aji Putih merupakan putra Ratu Komara keturunan
dari Wretikandayun. Prabu Guru Aji Putih hasil pernikahan dengan Dewi
Nawang Wulan (Ratna Inten) memiliki empat orang putra; yang sulung
bernama Batara Kusuma atau Batara Tuntang Buana yang dikenal juga
sebagai Prabu Tajimalela, yang kedua Sakawayana alias Aji Saka, yang
ketiga Haris Darma dan yang terakhir Jagat Buana yang dikenal Langlang
Buana. Dalam kropak 410 disebutkan pula bahwa Tajimalela itu adalah
Panji Romahyang putera Demung Tabela Panji Ronajaya dari Dayeuh
Singapura. Tajimalela sejajar dengan tokoh Ragamulya (1340 – 1350)
penguasa di Kawali dan Suryadewata ayah Batara Gunung Bitung di
Majalengka. Dalam masa pemerintahan Niskala Wastu Kancana (1371 – 1475),
Singapura diperintah oleh putranya yang kedua Surawijaya Sakti yang
kemudian digantikan oleh adiknya Ki Gedeng Sindangkasih, putra Wastu
Kancana yang ketiga yang disebut Mangkubumi Sumedang Larang karena waktu
itu Sumedang Larang menjadi kerajaan bawahan Galuh. Kemunculan Sumedang
Larang tentu sejalan dengan kasus kemunculan kerajaan Talaga yang
dirintis oleh tokoh Praburesi yang tetap berada di bawah Galuh.
Ketika Batara Kusuma sedang bertapa,
terjadi suatu keajaiban alam di kaki Gunung Cakrabuana, ketika langit
menjadi terang-benderang oleh cahaya yang melengkung mirip selendang
(malela) selama tiga hari tiga malam sehingga Batara Kusuma berucap “
In(g)sun Medal In(g)sun Madangan” (In(g)sun artinya “saya”, Medal
artinya lahir dan Madangan artinya memberi penerangan) maksudnya “Aku
lahir untuk memberikan penerangan” dari kata-kata tersebut terangkailah
kata Sumedang, kata Sumedang Larang dapat juga diartikan sebagai “tanah
luas yang jarang bandingnya” (Su= bagus, Medang = luas dan Larang =
jarang bandingannya), sehingga Batara Kusuma dikenal pula sebagai
Tajimalela dan kata Sumedang bisa diambil juga dari kata Su yang berarti
baik atau indah dan Medang adalah nama sejenis pohon, Litsia Chinensis
sekarang dikenal sebagai pohon Huru, dulu pohon medang banyak tumbuh
subur di dataran tinggi sampai ketinggi 700 m dari permukaan laut
seperti halnya Sumedang merupakan dataran tinggi. Selain itu Tajimalela
menciptakan ilmu Kasumedangan terdiri dari 33 pasal “Sideku Sinuku
Tunggal Mapat Pancadria” ilmu yang berisikan hubungan manusia dengan
Sang Pecipta dan Antara manusia dengan manusia, seperti yang terpancar
dalan tembang Sinom berikut :
Sumanget ka SumedanganTara ngukut kanti risi
Tara reuwas ku beja
Sikepna titih carincing
Jauh tina hiri dengki
Nyekel tetekon nu luhung
Gagah bedas tanpa lawan
Handap asor hade budi
Kasabaran nyata elmu katunggalan
Prabu Tajimalela merupakan raja pertama
Kerajaan Sumedang Larang (721 – 778 M) yang berkedudukan Tembong Agung
Darmaraja dibekas kerajaan Prabu Guru Aji Putih. Prabu Tajimalela
mempunyai tiga orang putra yaitu ; yang pertama Jayabrata atau Batara
Sakti alias Prabu Lembu Agung, yang kedua Atmabrata atau Bagawan Batara
Wirayuda yang dikenal sebagai Prabu Gajah Agung, dan yang terakhir
Mariana Jaya atau Batara Dikusuma dikenal sebagai Sunan Ulun, yang
pertama menjadi raja kedua Sumedang Larang adalah Lembu Agung (778 – 893
M) kemudian digantikan oleh Gajah Agung. Kisah awal Prabu Gajah Agung
sangat mirip kisah awal Kerajaan Mataram menurut versi Babad Tanah Jawi
tetapi melihat masa pemerintahannya Prabu Gajah Agung pada tahun 839 M
sedangkan Ki Ageng Pamanahan tahun 1582 M, jelas terlihat waktu yang
sangat berbeda.
Menurut kisah Babad Tanah Jawi itu Ki
Ageng Sela memetik dan menyimpan buah kelapa muda sementara Ki Ageng
Sela pergi, datanglah Ki Ageng Pamanahan yang kemudian meminumnya, yang
akhirnya Ki Ageng Pamanahan menjadi Raja Mataram sedangkan dalam Babad
Darmaraja ketika Prabu Tajimalela menunjuk Lembu Agung untuk menjadi
raja Sumedang Larang yang kedua, Lembu Agung menolaknya, Lembu Agung
memilih untuk menjadi resi daripada menjadi seorang raja sepertinya
adiknya Sunan Ulun menjadi resi demikian pula dengan Gajah Agung
menolak. Akhirnya Tajimalela memanggil kedua putera kembarnya yaitu
Lembu Agung dan Gajah Agung, ketika kedua puteranya datang Prabu
Tajimalela menyuruh kedua puteranya untuk menunggui sebuah kelapa muda
dan sebilah pedang di tengah lapangan berapa saat kemudian Prabu
Tajimalela pergi meninggalkan mereka berdua, setelah menunggu berapa
lama kemudian Prabu Lembu Agung pergi sementara tinggallah Prabu Gajah
Agung seorang diri akhirnya Prabu Gajah Agung tak kuat menahan haus
kemudian meminumnya buah kelapa tersebut, akhirnya Prabu Tajimalela
menunjuk Atmabrata yang dikenal sebagai Prabu Gajah Agung (893 – 998 M)
sebagai raja Sumedang Larang kedua, periode pemerintahan kedua keturunan
Prabu Tajimalela lebih kepada karesian dari pada keprabuan dan mulai
dari sini pusat Makam Prabu Pagulingan /Jagabaya di Nantung.
pemerintahan dipindah dari Darmaraja ke Ciguling Pasanggrahan Sumedang
Selatan.
Prabu Gajah Agung mempunyai putra bernama
Wirajaya atau Jagabaya atau dikenal sebagai Prabu Pagulingan (998 –
1114 M) kemudian menjadi raja Sumedang Larang keempat. Setelah wafatnya
Prabu Pagulingan digantikan oleh Mertalaya yang dikenal sebagai Sunan
Guling (1114 – 1237 M)mempunyai tiga putra; Tirta Kusuma dikenal sebagai
Sunan Tuakan, Jayadinata dan Kusuma Jayadiningrat. Setelah Sunan Guling
wafat digantikan oleh puteranya bernama Tirtakusuma atau Sunan Tuakan
(1237 – 1462 M) sebagai raja Sumedang Larang yang keenam. Sunan Tuakan
memiliki tiga putri; yang sulung Ratu Ratnasih alias Nyi Rajamatri
diperistri oleh Sri Baduga Maharaja Jaya Dewata Pakuan Pajajaran, yang
kedua Ratu Sintawati alias Nyi Mas Ratu Patuakan dan yang ketiga Sari
Kencana diperisteri oleh Prabu Liman Sanjaya keturunan Prabu Jaya
Dewata.
Kemudian Sunan Tuakan digantikan oleh
putrinya yang kedua yang bernama Ratu Sintawati alias Nyai Mas Patuakan
(1462 – 1530 M) sebagai raja Sumedang Larang ketujuh, Ratu Sintawati
menikah dengan Sunan Corenda raja Talaga putera Ratu Simbar Kancana dari
Kusumalaya putra Dewa Niskala penguasa Galuh. Dari Ratu Sintawati dan
Sunan Corenda mempunyai putri bernama Satyasih atau dikenal sebagai Ratu
Inten Dewata setelah menjadi penguasa Sumedang yang kedelapan bergelar
Ratu Pucuk Umum (1530 – 1578 M).
Pada masa Ratu Sintawati agama Islam
mulai menyebar di Sumedang pada tahun 1529 M. Agama Islam disebarkan
oleh Maulana Muhammad alias Pangeran Palakaran putera Maulana Abdurahman
alias Pangeran Panjunan. Pangeran Palakaran menikah dengan Nyi Armilah
seorang puteri Sindangkasih Majalengka dan hasil pernikahan tersebut
pada tanggal 6 bagian gelap bulan jesta tahun 1427 saka (+ 29 Mei 1505
M) lahirlah seorang putra bernama Rd. Solih atau Ki Gedeng Sumedang
alias Pangeran Santri. Kemudian Pangeran Santri menikah dengan Ratu
Pucuk Umum, yang akhirnya Pangeran Santri menggantikan Ratu Pucuk Umum
sebagai penguasa Sumedang, Pangeran Santri dinobatkan sebagai raja
Sumedang Larang dengan gelar Pangeran Kusumadinata I pada tanggal 13
bagian gelap bulan Asuji tahun 1452 saka (+ 21 Oktober 1530 M), Pangeran
Santri merupakan murid Sunan Gunung Jati.
Pangeran Santri merupakan penguasa
Sumedang pertama yang menganut agama Islam dan berkedudukan di Kutamaya
Padasuka sebagai Ibukota Sumedang Larang yang baru, sampai sekarang di
sekitar situs Kutamaya dapat dilihat batu bekas fondasi tajug keraton
Kutamaya. Pada tanggal 3 bagian terang bulan srawana tahun 1480 saka (+
19 Juli 1558 M) lahirlah Pangeran Angkawijaya yang kelak bergelar Prabu
Geusan Ulun putera dari Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umum. Pada masa
pemerintahan Pangeran Santri kekuasaan Pajajaran sudah menurun di
beberapa daerah termasuk Sumedang dan pada tanggal 11 Suklapaksa bulan
Wesaka 1501 Sakakala atau tanggal 8 Mei 1579 M Pajajaran “Sirna ing
bumi” Ibukota Padjajaran jatuh ke tangan pasukan Kesultanan Surasowan
Banten . Pada tahun 1578 tepatnya pada hari Jum’at legi tanggal 22 April
1578 atau bulan syawal bertepatan dengan Idul Fitri di Keraton Kutamaya
Sumedang Larang Pangeran Santri menerima empat Kandaga Lante yang
dipimpin oleh Sanghiang Hawu atau Jaya Perkosa, Batara Dipati
Wiradidjaya (Nganganan), Sangiang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana
Terong Peot membawa pusaka Pajajaran dan alas parabon untuk di serahkan
kepada penguasa Sumedang Larang dan pada masa itu pula Pangeran
Angkawijaya / Pangeran Kusumadinata II dinobatkan sebagai raja Sumedang
Larang dengan gelar Prabu Geusan Ulun (1578 – 1610) sebagai nalendra
penerus kerajaan Sunda dan mewarisi daerah bekas wilayah Pajajaran,
sebagaimana dikemukakan dalam Pustaka Kertabhumi I/2 (h. 69) yang
berbunyi; “Ghesan Ulun nyakrawartti mandala ning Pajajaran kangwus
pralaya, ya ta sirnz, ing bhumi Parahyangan. Ikang kedatwan ratu
Sumedang haneng Kutamaya ri Sumedangmandala” (Geusan Ulun
memerintah wilayah Pajajaran yang telah runtuh, yaitu sirna, di bumi
Parahiyangan. Keraton raja Sumedang ini terletak di Kutamaya dalam
daerah Sumedang) selanjutnya diberitakan “Rakyan Samanteng Parahyangan
mangastungkara ring sira Pangeran Ghesan Ulun” (Para penguasa lain di
Parahiyangan merestui Pangeran Geusan Ulun). “Anyakrawartti” biasanya
digunakan kepada pemerintahan seorang raja yang merdeka dan cukup luas
kekuasaannya. Dalam hal ini istilah “nyakrawartti” maupun “samanta”
sebagai bawahan, cukup layak dikenakan kepada Prabu Geusan Ulun, hal ini
terlihat dari luas daerah yang dikuasainya, dengan wilayahnya meliputi
seluruh Padjajaran sesudah 1527 masa Prabu Prabu Surawisesa dengan batas
meliputi; Sungai Cipamali (daerah Brebes sekarang) di sebelah timur,
Sungai Cisadane di sebelah barat, Samudra Hindia sebelah Selatan dan
Laut Jawa sebelah utara.
Daerah yang tidak termasuk wilayah
Sumedang Larang yaitu Kesultanan Banten, Jayakarta dan Kesultanan
Cirebon. Dilihat dari luas wilayah kekuasaannya, wilayah Sumedang Larang
dulu hampir sama dengan wilayah Jawa Barat sekarang tidak termasuk
wilayah Banten dan Jakarta kecuali wilayah Cirebon sekarang menjadi
bagian Jawa Barat.
Pada saat penobatannya Pangeran
Angkawijaya berusia 22 tahun lebih 4 bulan, sebenarnya Pangeran
Angkawijaya terlalu muda untuk menjadi raja sedangkan tradisi yang
berlaku bahwa untuk menjadi raja adalah 23 tahun tetapi Pangeran
Angkawijaya mendapat dukungan dari empat orang bersaudara bekas Senapati
dan pembesar Pajajaran, keempat bersaudara tersebut merupakan keturunan
dari Prabu Bunisora Suradipati. Dalam Pustaka Kertabhumi I/2
menceritakan keempat bersaudara itu “Sira paniwi dening Prabu Ghesan
Ulun. Rikung sira rumaksa wadyabala, sinangguhan niti kaprabhun mwang
salwirnya” (Mereka mengabdi kepada Prabu Geusan Ulun. Di sana mereka
membina bala tentara, ditugasi mengatur pemerintahan dan lain-lainnya),
sehingga mendapat restu dari 44 penguaa daerah Parahiyangan yang terdiri
dari 26 Kandaga Lante, Kandaga Lante adalah semacam Kepala yang satu
tingkat lebih tinggi dari pada Cutak (Camat) dan 18 Umbul dengan cacah
sebanyak + 9000 umpi, untuk menjadi nalendra baru pengganti penguasa
Pajajaran yang telah sirna. Tidak semuanya bekas kerajaan bawahan
Pajajaran mengakui Prabu Geusan Ulun sebagai nalendra, sehingga terpaksa
Prabu Geusan Ulun menaklukan kembali kerajaan-kerajaan tersebut seperti
Karawang, Ciasem, dan Pamanukan.
HANJUANG DI KUTAMAYA
Pada masa pemerintahan Prabu Geusan Ulun
ada suatu peristiwa penting, menurut Pustaka Kertabhumi I/2 (h.70)
peristiwa Harisbaya terjadi tahun 1507 saka atau 1585 M. Peristiwa ini
dimulai ketika Prabu Geusan Ulun pulang berguru dari Demak dan Pajang,
singgah di Keraton Panembahan Ratu penguasa Cirebon ketika Prabu Geusan
Ulun sedang bertamu di Cirebon, sang Prabu bertemu dengan Ratu Harisbaya
isteri kedua Panembahan Ratu yang masih muda dan cantik. Harisbaya
merupakan puteri Pajang berdarah Madura yang di “berikan” oleh Arya
Pangiri penguasa Mataram kepada Panembahan Ratu. Pemberian Harisbaya ke
Panembahan Ratu oleh Arya Pangiri agar Panembahan Ratu bersikap netral
karena setelah Hadiwijaya raja Pajang wafat terjadilah perebutan
kekuasaan antara keluarga keraton Pajang yang didukung oleh Panembahan
Ratu menghendaki agar yang menggantikan Hadiwijaya adalah Pangeran
Banowo putra bungsunya, tetapi pihak keluarga Trenggono di Demak
menghendaki Arya Pangiri putra Sunan Prawoto dan menantu Hadiwijaya
sebagai penggantinya yang akhirnya Arya Pangirilah yang meneruskan
kekuasaan di Pajang.
Selama berguru di Demak Prabu Geusan Ulun
belajar ilmu keagamaan, sedangkan di Pajang berguru kepada Hadiwijaya
belajar ilmu kenegaraan dan ilmu perang, selama di Pajang inilah Prabu
Geusan Ulun berjumpa dengan Harisbaya dan menjalin hubungan kekasih yang
akhirnya hubungan kekasih ini terputus karena Ratu Harisbaya di paksa
nikah dengan Panembahan Ratu oleh Arya Pangiri. Ada kemungkinan setelah
pulang berguru dari Demak dan Pajang Prabu Geusan Ulun singgah di
Cirebon untuk memberikan ucapan selamat kepada Panembahan Ratu atas
pernikahannya dengan Harisbaya dan sekalian melihat mantan kekasih.
Melihat mantan kekasihnya datang rasa rindu dan cintanya Harisbaya ke
Geusan Ulun makin mengebu-gebu, setelah Panembahan Ratu tidur Harisbaya
mengedap-edap mendatangi tajug keraton dimana Prabu Geusan Ulun
beristirahat dan Harisbaya datang membujuk Geusan Ulun agar membawa
dirinya ke Sumedang ketika itu Geusan Ulun bingung karena Harisbaya
adalah istri pamanya sendiri sedangkan Harisbaya mengancam akan bunuh
diri apabila tidak dibawa pergi ke Sumedang, setelah meminta nasehat
kepada empat pengiringnya akhirnya malam itu juga Harisbawa dibawa pergi
ke Sumedang. Keesokan paginya keraton Cirebon gempar karena permaisuri
hilang beserta tamunya, melihat istrinya hilang Panembahan Ratu
memerintahkan prajuritnya untuk mengejar tetapi prajurit bayangkara
Cirebon yang mengusul Geusan Ulun rombongan dapat dipukul mundur oleh
empat pengiring sang prabu. Akibat peristiwa Harisbaya tersebut
terjadilah perang antara Sumedang dan Cirebon, sebelum berangkat perang
Jaya Perkosa berkata kepada Prabu Geusan Ulun, ia akan menanam pohon
Hanjuang di Ibukota Sumedang Larang (Kutamaya) sebagai tanda apabila ia
kalah atau mati pohon hanjuang pun akan mati dan apabila ia menang atau
hidup pohon hanjuang pun tetap hidup, sampai sekarang pohon hanjuang
masih hidup? Setelah berkata Jaya Perkosa berangkat bertempur karena
pasukan Cirebon sangat banyak maka perangpun berlangsung lama dalam
perang tersebut dimenangkan oleh Jaya Perkosa, dipihak lain Nangganan,
Kondang Hapa dan Terong Peot kembali ke Kutamaya sedangkan Jayaperkosa
terus mengejar pasukan Cirebon yang sudah cerai berai. Di Kutamaya Prabu
Geusan Ulun menunggu Jaya Perkosa dengan gelisah dan cemas, karena
anjuran Nangganan yang mengira Senapati Jaya Perkosa gugur dalam medan
perang agar Prabu Geusan Ulun segera mengungsi ke Dayeuh Luhur tanpa
melihat dulu pohon hanjuang yang merupakan tanda hidup matinya Jaya
Perkosa. Maka sejak itu Ibukota Sumedang Larang pindah dari Kutamaya ke
Dayeuh Luhur. Keputusan Geusan Ulun memindahkan pusat pemerintahan ke
Dayeuh Luhur sesungguhnya merupakan langkah logis dan mudah difahami.
Pertama, dalam situasi gawat menghadapi kemungkinan tibanya serangan
Cirebon, kedua benteng Kutamaya yang mengelilingi Ibukota belum selesai
dibangun, ketiga, Dayeuh Luhur di puncak bukit merupakan benteng alam
yang baik dan terdapat kabuyutan kerajaan.
Jayaperkosa kembali ke Kutamaya dengan
membawa kemenangan tetapi ia heran karena Ibukota telah kosong sedang
pohon hanjuang tetap hidup akhirnya Jaya Perkosa menyusul ke Dayeuh
Luhur dan setelah bertemu dengan Prabu Geusan Ulun, ia marah kepada
Nangganan bahkan membunuhnya dan meninggalkan rajanya sambil bersumpah
tidak akan mau mengabdi lagi kepada siapapun juga.Terdengar kabar dari
Cirebon terdengar bahwa Panembahan Ratu akan menceraikan Harisbaya
sebagai ganti talaknya daerah Sindangkasih. Akhirnya Prabu Geusan Ulun
menikah dengan Harisbaya dan berputra dua, Raden Suriadiwangsa dan
Pangeran Kusumahdinata, sedangkan dari istri pertamanya Nyi Gedeng Waru
berputra Rangga Gede. Setelah Prabu Geusan Ulun wafat merupakan akhir
dari nalendra kerajaan Sunda Sumedang Larang dan Sumedang memasuki masa
kebupatian ketika dipimpin oleh Raden Suriadiwangsa/Rangga Gempol dan
menjadi bawahan Mataram.
Peristiwa penobatan Prabu Geusan Ulun
sebagai Cakrawarti atau Nalendra merupakan kebebasan Sumedang untuk
mengsejajarkan diri dengan kerajaan Banten dan Cirebon. Arti penting
yang terkandung dalam peristiwa itu ialah pernyataan bahwa Sumedang
menjadi ahli waris serta penerus yang sah dari kekuasaan Kerajaan
Pajajaran di Bumi Parahiyangan. Pusaka Pajajaran dan beberapa atribut
kerajaan yang dibawa oleh Senapati Jaya Perkosa dari Pakuan dengan
sendirinya dijadikan bukti dan alat legalisasi keberadaan Sumedang, sama
halnya dengan pusaka Majapahit menjadi ciri keabsahan Demak dan
Mataram.
0 comments "Kerajaan Sumedang Larang", Baca atau Masukkan Komentar
Post a Comment
Rules:
1. No Spam